* WELCOME TO EVIMIP BLOG *

Senin, 21 Januari 2013

Merajut Asa Dan Memikul Rasa Dalam Kebersamaan




Evimip Blog,- Mempunyai tekad keras serta berusaha tanpa menutupi muka seringkali tak cukup. Kita memerlukan sebuah kekuatan batin, yaitu kemampuan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi. Orang bilang, ini adalah sebuah keberserahan diri, sebuah tawakal, sebuah kepasrahan.

Suatu hari ditengah laut. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Sepasang sahabat ini berjibaku dengan gelombang besar dan hembusan angin laut yang begitu mencekam, membuat pikiran dan hati kami menjadi bimbang, bingung dan bahkan pasrah.
Kepergian kami selama 2 hari itu hanya bermodalkan 10 bungkus mie dan air yang begitu pas-pasan. Malam semakin larut dihari pertama itu dan kami hanya makan dipagi hari dan malamnya kami tak berani untuk makan, karna kami berpikir kalau kami makan dimalam hari maka kami kekurangan stok untuk keesokan harinya.

Di sepertiga malam salah satu dari kami  duduk murung ditepi kapal yang berukuran 10 meter panjang dan lebar sekitar 3 meter, tepat ditepi kapal itulah dia duduk murung tanpa berkata sedikitpun, teman-temannya mendatangi dia dan bertanya, Kamu kenapa...? ia menjawab, saya tidak apa-apa, beberapa kali saya dan teman menanyakan hal yang sama, namun dia tetap menjawab dengan hal yang sama pula.
Semua terdiam sejenak, ditengah keheningan malam membuat suasana semakin mencekam, kami tidak menyadari kalau kami seharian tidak makan. Temannya yang duduk merung ditepi kapal itu sebenarnya sedang lapar dan tak kuat untuk menahan.

Kamipun sepakat akan memasak 3 bungkus mie untuk bertiga di sepertiga malam itu, namun air untuk memasak miepun hanya tersisa untuk memasak mie dan tak cukup untuk minum setelah makan, karna tak kuasa melihat salah satu teman yang lapar, kamipun terpaksa memasak mie tersebut.

Didalam ruang kapal yang begitu sempit dan hanya muat untuk 3 orang terpaksa kami duduk berdempatan dan saling menatap mie rebus yang dikeluarkan dari periuk. Kamipun bergegas mengambil piring dan memasukan mie kedalam piring mereka masing-masing, lagi-lagi cobaan menghampiri kami, piring yang ada untuk makan mie hanya 3 piring, sedangkan kami berempat dan akhirnya satu orang terpaksa makan pake periuk. Disitulah ikatan emosial diantara kami semakin terjalin sangat kuat, cobaan, rintangan, hambatan yang mencekam membuat kebersamaan kami semakin baik.

Ikan yang dipancing hanya bisa dipandang kaku oleh kami karna tercium bau ikan yang sudah busuk. Wajan yang tak ada, minyak gorengpun tak ada hingga ikan-ikan yang dipancingpun busuk. Ikan-ikan, gunung, laut, serta gelombang hanya menjadi kenangan indah bagi kami.

Kadang semuanya begitu menggembirakan. Manis dan asam memang bumbu penyedap dalam persahabatan. Yang pasti, esok, kehidupan sekali lagi harus dijalani. Mempunyai tekad keras serta berusaha tanpa menutupi muka seringkali tak cukup. Kita memerlukan sebuah kekuatan batin, kemampuan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi. Orang bilang, ini adalah sebuah keberserahan diri, sebuah tawakal, sebuah kepasrahan. Sepasang suami istri itu berjalan bergegas. Yang laki mendorong gerobak, yang perempuan terkantuk-kantuk duduk di atasnya. Keduanya berlalu menembus malam. Hidup memang bukan untuk dijalani sendiri. Tapi bersama-sama; teman, sahabat, keluarga atau tetangga. Hidup adalah untuk saling kuat-menguatkan, topang-menopang, serta kasih-mengasihi.

Dalam konteks itulah, Islam mengajarkan hidup yang sesungguhnya. Hidup yang tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan eksistensi diri. Tapi lebih dari itu, Islam mengajarkan kita meraih kehidupan yang bermakna, bermanfaat, bertanggung jawab, dan berorientasi ke masa depan (perhatikan QS 28:77). Esensi kebersamaan dalam hidup adalah adanya tolong-menolong dalam perbuatan kebajikan dan taqwa (QS 5:2), saling menasehati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang (QS 90:17, 103:3), dan saling mengingatkan dalam keimanan (QS 16:125). 
The hope this flash of Historical can be usefully for us and the readers. (Evimip)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar